watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

GADIS PEMIJAT

Sabtu awal bulan, di pagi menjelang siang hari
tepatnya jam 10:30 yang cerah, aku sudah
duduk di rumah makan cepat saji yang cukup
populer di Jakarta. Setelah memesan makanan,
kupilih tempat duduk dekat kaca, agar dapat
melihat situasi di luar. Dari pantulan cermin aku
melihat di belakangku ada pria dan wanita. Yang
pria sedang membaca surat kabar dengan posisi
mengahadap kaca di sampingnya sedangkan
wanitanya melahap makanan yang tersaji di
hadapannya sehingga tidak ada suara, hanya
suara musik yang terdengar sayup-sayup.
Karena aku nggak biasa sarapan pagi, jadi
sarapannya tidak bisa cepat, sedikit-sedikit yang
penting masuk. Nampak di belakangku mulai ada
pembicaraan, semakin lama semakin keras. Oh,
ternyata lagi ada pertengkaran, namun suaranya
tidak terlalu keras. Bagus juga idenya kalau
bertengkar cari tempat di luar rumah. Si wanita
cemburu terhadap pasangannya, namum
disanggah oleh si pria. Dia tak mungkin
berseligkuh dikarenakan semua penghasilannya
sudah diberikan padanya.
Tiba-tiba kulihat di luar ada seorang wanita
berjalan dengan cepat sambil membawa tas
plastik merah. Sepertinya kenal. Aku ingat-ingat.
Oh iya, itukan Mbak Indah. Kulihat jam
menunjukkan jam 11:30, berarti mulai
berdatangan WP di depan rumah makan ini,
tetapi ini masih yang juniornya alias yang baru
lulus training. Aku sudah tidak memfokuskan ke
pembicaraan orang di belakangku. Tak lama
sepeda motor berpenumpang melintas dan
menurunkan penumpangnya tepat di belakang
kendaraanku yang kuparkir di seberang rumah
makan dan hanya tiga blok dari sebuah panti
pijat tradisional (Papitra). Dia turun dan
memberikan uang. Oh ternyata naik ojek, itu kan
Mbak Anita. Saat Mbak Anna masuk, sebuah
bajaj berhenti lagi di belakang kendaraanku.
Setelah bajaj berlalu tampak Mbak Ayu, dengan
cepat melangkah masuk. Lama kelamaan parkir
mulai penuh di sekitar Papitra, dan banyak
pengemudi masuk ke situ. Nampak roda
kehidupan Papitra mulai berputar.
Tanpa terasa suasana rumah makan mulai
ramai. Pengunjung sudah bergantian keluar-
masuk. Makananku pun sudah mulai habis. Aku
pesan makanan penutup, sambil tidak sedikitpun
membuang pandanganku ke arah sekitar
mobilku. Bukannya takut kehilangan mobilku,
tetapi di situlah rata-rata para WP turun dari
kendaraan yang mengangkut mereka - mungkin
malu dengan "pengantar"nya bahwa mereka
bekerja di Papitra, sedangkan yang naik bis pasti
berjalan kaki untuk mencapai tempat bekerjanya.
Hari semakin siang, sudah menunjukkan jam
13:00. Wp masih berdatangan. Ada yang muda
dan kecil, rata-rata mereka menggunakan
pakaian serba ketat atau hanya bawahannya saja
yang ketat, nanti setelah masuk mereka akan
menggunakan pakaian dinasnya yang setiap hari
berganti warna tetapi dengan model yang sama,
mempunyai bordiran nama di dada kanan
sedangkan rok mininya ditulis nama WP dengan
spidol di bagian dalam lipatan pinggang. Nah
jam segini yang datang biasanya para senior-
senior. Ada yang keluar dari taksi sambil bicara
dengan HP-nya. Begitu taksi yang menutupi
pandanganku jalan, baru aku tahu kalau itu Mbak
Febby. Ada yang jalan kaki tetapi sambil bicara
juga dengan HP-nya, kalau nggak salah ini Mbak
Anna, dari penampilan mereka rata-rata HP yang
digunakan keluaran terbaru.
Tidak berapa lama ada seorang wanita
berpakaian ungu muda keluar dari taksi. Begitu
taksi pergi, dia jalan menuju ke Papitra. Siapa
yah? orang barukah? kataku dalam hati sambil
menyentuh daerah antara hidung dan bibir atas
dengan telunjuk kiriku - rasa penasaran dan
petualanganku mulai tumbuh - dari
penglihatanku umurnya kurang lebih sekitar 30
tahun. Yang menarik adalah pinggulnya cukup
besar. Bila berjalan seperti bebek, megal megol,
seperti orang hamil (??), apa mungkin orang
hamil bekerja di Papitra?
Didorong rasa ingin tahu, aku menelpon ke
Papitra di depan rumah makan itu.
"Hallo selamat siang," suara resepsionis.
"Siang Mbak Ani," jawabku.
"Mau pesan, Pak Budi?" katanya, masih ingat
namaku. Mana mungkin lupa, khan setiap datang
selalu diberi uang tip. (Hati-hati ada pengganti
Mbak Ani, yang setiap mengembalikan uang jasa
pijat selalu mengatakan kembaliannya kurang
karena nggak ada uang kecil. Dia hanya
menyediakan uang terkecil 10.000,- jadi di
bawah nilai ini tidak akan dikembalikan -
"pemerasan terselubung" alias tip maksa. Aku
kalau bertemu dengan orang ini, selalu aku
membayar lewat WP, agar kembaliannya tidak
jatuh ke tangannya. Lebih baik jatuh ke tangan
WP - khan dia yang "memeras").
"Mbak Ani, yang barusan baru masuk
menggunakan baju ungu siapa sih?" tanyaku.
"Oh itu Mbak Desi," jawabnya.
"Sepertinya kok lagi hamil, Mbak?" tanyaku
sambil menebak.
"Emang bener, Pak," jawabnya.
"Mbak Ani, sorry aku nanyanya agak-agak nih,
kalau lagi hamil tugas, berarti hanya mijat dong?"
tanyaku mendesak.
"Dalam kamar siapa yang tahu Pak?" jawabnya
diplomatis, benar juga.
"Sudah ada yang pesan?" tanyaku, jadi ingin
coba, karena rasa keingintahuanku.
"Belum, Pak Budi mau pesan?"
"Iya deh."
"Untuk jam berapa?"
"Hmm," mikir dikit, dia baru sampai, butuh
istirahat, waktu makan siang sudah lewat, yah
30 menit cukup lah.
"Setengah jam lagi deh Mbak," jawabku.
Empat puluh lima menit kemudian aku sudah
tanpa baju hanya menggunakan CD dengan isi
sudah pada posisi. Tidur telungkup menghadap
tembok di kamar lantai tiga ukuran 2x3 dengan
penyejuk ruangan. Tak lama tirai dibuka dan
ditutup kembali.
"Selamat siang Pak," sapanya.
"Siang," jawabku sambil menolehkan muka ke
arah atas, tetapi tetap tidur telungkup.
"Mau minum apa?" tanyanya, sambil meletakkan
barang bawaannya, handuk, sabun, sprei, dan
cairan pelicin untuk pijat di atas satu-satunya
sofa yang ada di ruang itu.
"Air mineral nggak dingin," jawabku. Dia keluar
dan nggak lama membawa yang kuminta. Dia
tidak menanyakan pijat berapa jam, karena aku
berada di ruang VIP yang mempunyai waktu
minimal satu setengah jam.
Terdengar dia melepaskan seragam dinasnya
(padahal suhu ruang cukup dingin). Menutupkan
selembar handuk ke punggungku mulai leher
hingga pantat dan mulai memijit telapak kakiku.
Selanjutnya aku tidak menjelaskan tahapan-
tahapan pijat.
"Sebentar ya Pak, mau ke toilet," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat.
Saat kembali dia mulai memijat kembali,
mungkin terlalu lama berdiri saat memijat tadi,
sehingga dia naik ke tempat tidur dan memijat
kaki sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi.
Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat
punggungku. Terasa pahanya dibungkus
dengan celana ketat, saat bersentuhan dengan
pahaku.
"Kamu nggak pernah diisengin sama tamu,
Mbak?" tanyaku.
"Itu sih sering Pak, santapan setiap hari!"
katanya.
"Yang paling nyebelin seperti apa Mbak?"
tanyaku.
"Belum lama ini ada tamu, saat lagi nafsu dia
bilang, Mbak ngentot yuk? aku jawab aja, sama
siapa Pak? dia jawab ya sama kamu, kirain sama
kambing kataku, ngomongnya kasar banget,"
jawabnya.
Mungkin ada benarnya kata tukang gado-gado
langgananku di blok M. Dia mengatakan bahwa
kelemahan wanita ada di telinga. Artinya kalau
dia disanjung, diajak bicara yang indah-indah,
pasti akan tunduk. Jadi bicaralah yang baik
dengan wanita siapapun dia, pasti kalau kamu
minta sesuatu dengannya akan diberikan.
"Maaf Pak, saya tinggal ke toilet lagi," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat, membuyarkan
lamunanku.
Nggak lama dia meneruskan pijatan yang belum
selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia
berkata.
"Pakai krim nggak, Pak?" tanyanya.
"He em," kataku.
"Maaf Pak," katanya sambil melipat CD-ku,
menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan
menutup sisi CD dengan handuk, tetapi.. "Tolong
dilepas aja Mbak," kataku. Dia menarik handuk
dan melepaskan CD-ku. Nah telanjang deh aku
sekarang. Dia mulai meratakan krim di seluruh
permukaan kulit kakiku, dan mulai memijit, dan
beberapa menit kemudian..
"Sebentar ya Pak, mau ke toilet lagi," ijinnya
untuk ke tiga kalinya.
"Ya" jawabku singkat, tanpa protes, karena aku
memaklumi, karena saat hamil kandung kemih
tertekan oleh kandungan, atau ada yang lain
yang aku nggak tahu.
"Yah beginlah Pak kalau kondisinya seperti ini,"
katanya saat masuk ke kamar.
"Aku maklum kok, Mbak," jawabku.
Dia mulai memijat kaki satunya lagi. Setelah
selesai dia mengeringkan krim dengan handuk,
karena kakiku cukup banyak bulunya dia
menaburi bedak bayi di seluruh permukaan ke
dua kaki (kalau dilihat nggak ubahnya seperti bayi
yang habis mandi terus dibedaki), sehingga
minyaknya bergabung dengan bedak, kemudian
di gosok dengan handuk satunya lagi, hasilnya
lumayan kering.
Kemudian dia naik ke tempat tidur (biasanya WP
bisa melakukannya dengan berdiri, mungkin
karena beratnya menahan perut sehingga lebih
baik sambil duduk di tempat tidur guna
mengistirahatkan kedua kakinya). Wanita lagi
hamil mana ada yang memakai rok mini,
biasanya selalu serba longgar kan, kecuali wanita
yang saat ini ada di atas pantatku.
Karena nggak ada tempat lagi untuk duduk,
akhirnya dia mengangkangiku sehingga dia
menduduki pantatku (asli lho, duduk plek,
soalnya berat banget) dengan berlapiskan
handuk dan mulai mengolesi krim. Saat sebelah
kakinya diangkat untuk mengangkang terasa
pahaku bergesekan dengan paha bagian
dalamnya yang licin dan dingin. Tetapi anehnya
kok sudah tidak memakai celana ketatnya lagi.
Setelah punggung rata dengan krim dia mulai
memijat. Posisi memijat adalah maju mundur,
mulai dari pinggangku ke arah pundak. Karena
gaya pijat dan tumpuan duduknya pada tempat
yang tidak rata walaupun dilapisi oleh handuk,
lama kelamaan dia bergeser tepatnya terpeleset
ke arah pangkal paha, kan ada sedikit bekas krim
serta berat tubuhnya yang lumayan berat.
Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku
lagi. Akan tetapi tanpa handuk hanya beralaskan
roknya. Sewaktu gaya maju - saat mengurut
dari pinggang ke arah pundak - dia terpeleset
lagi. Sewaktu mengembalikan pantatnya ke
pantatku sudah tanpa handuk, sebab irama
pijatannya sudah agak cepat, jadi kalau sebentar-
sebentar ngurusin handuk nggak selesai-selesai
mijatnya.
Semakin cepat pijatannya, yang kurasakan
bukan punggungku lagi, akan tetapi di pantatku
ada sesuatu yang sangat kasar. Ternyata roknya
sudah tidak menjadi alas untuk duduk. Iseng,
aku menoleh ke belakang bawah.
"Sudah, nggak usah lihat-lihat," kata Mbak Desi,
tetapi sekilas aku dapat melihat dia jongkok
dengan roknya sudah di pinggang sementara di
atas pantatku ada daging yang cukup tebal tanpa
bulu (dicukur) nggak seperti bagasi mobilku,
lebih tepatnya nonong. Pantes pahanya kok licin,
nggak pakai celana!
Aku ikutin perintahnya, prajurit muda lebih
mengandalkan tenaga, berhadapan langsung,
dan menekan sebaliknya prajurit tua lebih
mengandalkan pikiran, menghindari kontak
langsung, cenderung mengikuti (bukan
mengalah), hasilnya tak jauh beda dengan yang
muda hebatnya lagi tanpa keluar tenaga.
"Kenapa kok nggak pakai CD sih? Kamu khan lagi
hamil," tanyaku.
"Habis capek tiap kencing harus melorotin celana
ketat. Tadi sewaktu keluar yang ke tiga udah
kebelet banget jadi pas masuk nggak ketahan
keluar. Yah sudah basah, mau pakai cadangan
ada di lemari bawah, naik turun kan capek Mas.
Tadi kencing pertama aja udah nggak bisa
jongkok," jawabnya panjang lebar. Perhatikan,
panggilan sudah berubah. Artinya dia sudah
mulai mengenal. Pantes saat kontak dengan
pahanya terasa dingin kemungkinan dari air saat
membasuh setelah kencing.
"Memangnya kenapa? Khan ada toliet jongkok,"
kataku.
"Toliet khan jorok Mas bekas orang banyak, jadi
kencingnya sambil berdiri tetapi kakinya dibuka
lebar biar nggak kena," jawabnya.
"Kamu nggak takut kerja tanpa CD?" kataku.
"Aku tadi diberi tahu sama Mbak Anita, kalau Mas
orangnya nggak reseh," katanya.
Ha ha, belum tahu dia, jawabku dalam hati.
Mungkin pergantian panggilan tadi berubah
setelah ada sekilas info dari Mbak Anita. Setelah
selesai memijat punggung, dia mulai
mengeringkan krim dengan cara seperti tadi.
"Mas balik," katanya.
Aku segera membalikkan badanku, sambil
kulihat wajahnya, dia tidak melihatku, tetapi
melihat kemaluanku yang masih "bobo siang"
sambil menutupnya dengan handuk kecil.
"kok dicukur Mas?" tanyanya setelah melihat
burung yang tanpa bulu.
"Kamu sendiri kenapa kok dicukur?" tanyaku.
"Kalau ditanya dijawab dulu dong Mas!" katanya.
"Yah biar bersih aja," jawabku.
"Apa nggak geli Mas dicukur gitu?" tanyanya.
"Eh, kamu nanya terus kapan jawabnya?"
tanyaku. Dianya tersenyum. Bibir bagian
bawahnya (yang di wajah yah) lumayan tebal
ada belahan di bagian tengahnya. Bibirnya
dibalut pewarna berwarna pink, kontras dengan
kulit putihnya. Matanya bulat sekali.
"Yah biar bersih juga. Nanti kalau sewaktu-waktu
melahirkan, nggak buru-buru mencukurnya.
Mas aku ke toilet dulu yah?" jawabnya sembari
ijin yang ke empat kalinya.
Kalau melihat posisi kandungannya sih udah di
bawah, nampak sudah waktunya. Dia masuk ke
kamar, dan naik ke atas tempat tidur,
meminggirkan ke dua kakiku, sehingga bisa
duduk di pinggi tempat tidur.
"Berapa usia kandunganmu?" tanyaku.
"Tujuh bulan lewat, Mas," jawabnya.
"Suamimu kok tega, udah seperti ini kok masih
disuruh kerja," tanyaku.
"Lebih tega lagi Mas, dia tidak mengakui ini
hasilnya, dan pergi begitu saja," jawabnya
sambil menunduk dan terus memijat.
"kok nggak di batalin aja?" tanyaku lagi.
"Biarin deh Mas, umurku sudah semakin tua,
nanti nggak ada yang ngurus aku. Biarin deh aku
usahakan sendiri," jawabnya kalem bersamaan
dengan selesainya mengeringkan salah satu kaki.
Setelah kering dia menggosok betisku yang
berbulu dengan handuk, kemudian
mengangkangi kakiku tadi dan menggosok
pahaku dengan handuk, dan terasa bulu betisku
terasa beradu dengan sesuatu yang kasar. Aku
pura-pura tidak tahu dan kuperhatikan wajahnya
tidak berubah sedikitpun. Perubahan terjadi di
balik handuk yang menutupi kemaluanku, seperti
ada yang sedang mendirikan tenda.
Dia memijat kakiku yang sebelah. Perlakuan
yang sama dengan kakiku yang sebelah tadi.
Juga acara gesek-menggesek, sehingga makin
sempurnalah rubuhnya tenda. Yah, dalam posisi
terlentang kalau lagi "konak" nggak mungkin
tegak sembilan puluh derajat, yang ada juga
posisi jam sepuluh kurang sepuluh menit.
Setelah selesai dengan kaki, diturunkan handuk
kecil hingga menutupi kemaluanku saja dan..
"Perutnya dipijat Mas?" tanyanya.
"Terserah," jawabku. Repot juga dia akan
memijatnya, kalau sambil berdiri dia akan capek
kalau dari samping membutuhkan tenaga yang
lumayan banyak untuk menekan badanku. Yah
terpaksa dia mengangkangi kemaluanku yang
hanya dilapisi handuk kecil. Mulai memijat dari
arah perut ke atas melebar ke sekitar pundak.
Perlahan-lahan, semakin lama irama agak
dipercepat.
Aku tidak tahu apakah percepatannya disebabkan
prosedur pijatnya, ataukah ganjalan di
kemaluannya yang semakin keras dan
berdenyut-denyut. Disengaja atau tidak posisi
batang kemaluanku berada di sela-sela bibir
kemaluannya, hanya dipisahkan oleh handuk.
"Mas, kata Mbak Anita sama Mbak Anna, kalau ke
sini nggak pernah main, kenapa sih?" tanyanya.
"Yang pentingkan puas Mbak, nggak main aja
puas kok," jawabku.
"Kalau sekarang aku ingin main sama Mas,
gimana?" tanyanya.
Sewaktu berkata demikian, handuk sudah hilang
sebagai pembatas. Hilangnya bukan ditarik tetapi
terdorong oleh goyangan pantatnya. Jadi antara
batangku dan bibirnya melekat.
"Berapa tips-nya?" tanyaku. Dia sudah
menggoyangkan pinggulnya, kesepakatan
belum terjadi pekerjaan sudah dimulai. Sebagai
gambaran, bibir bawahnya lumayan tebal dan
sudah cukup basah untuk penetrasi, maklum
hamil (orang hamil lebih cepat basahnya karena
kelenjar yang memproduksi lendir tertekan oleh
kandungan).
"Seperti yang Mas berikan dengan Mbak Anita
atau Mbak Anna," katanya. Wah dilarang
dumping harga rupanya di sini.
"Ya, sudah," kataku. Begitu selesai aku bicara,
bersamaan dengan mulai masuknya
kemaluanku ke dalam kemaluannya. Ups, licin
sekali (jadi ingat main bola saat kecil di tanah
lapang dari tanah liat, nggak pernah membawa
bola jauh, selalu terpeleset apalagi bila bertemu
lawan pasti jatuh) tapi agak longgar, mungkin
karena tekanan kandungan, dan ada sesuatu
yang menyentuh di ujung kemaluan seperti ada
benjolan di bagian dalam kemaluannya. Ternyata
mulut rahimnya juga sudah turun.
Dia tidak melakukan gerakan naik turun,
mungkin sudah terlalu lelah, jadi hanya
bergoyang-goyang, tetapi goyangannya
semakin lama semakin merunduk, bak padi
yang semakin berisi, di kepalanya semakin berat,
terdongak ke belakang, sementara pahanya
terbuka sangat lebar mengingat perut besarnya.
Dia berusaha agar klitorisnya bergesekan dengan
bulu kemaluanku yang tumbuh kasar di atas
batang kemaluanku. Beberapa menit kemudian
dia membalikkan badannya tanpa melepas
batangku yang tertanam. Sekarang dia
menghadap ke kakiku. Gerakan yang sama dia
lakukan, tanpa naik turun, tetapi menekan serta
menggesek lubang anusnya yang agak keluar,
bukan ambein lho, tetapi itu tekanan kandungan,
sehingga lapisan bagian dalam anus yang
lembut tergesek oleh bulu kemaluanku. Dia tidak
mengeluarkan suara, tepatnya menahan
lenguhannya, agar tak terdengar di luar kamar.
Hanya deru nafasnya yang berfrekuensi tinggi,
isap buang isap buang, semua dilakukan melalui
hidung. Mungkin mulutnya dikunci dengan
menggigit bibir bawahnya takut tak sengaja
keluar suara.
Akhirnya tangannya meremas pergelangan
kakiku dan mengedan. Terasa sekali denyutan
lubang anusnya. Tidak berapa lama aku pun
keluar juga. Dia diam sejenak menikmati
semburan spermaku. Setelah selesai, sudah tidak
ada semburan dia mengangkat pantatnya, dan
saat batangku telepas dari lubangnya, dia
berusaha menjepit labia minoranya dengan
jarinya tetapi tetap aja ada yang berjatuhan
spermaku yang agak kental di kemaluanku.
"Banyak banget sih Mas?" tanyanya, sambil
membersihkan vaginanya yang tembem banget
dan nonong, tetapi masih mengangkang di atas
kemaluanku.
"Iya udah lama nih nggak dikeluarin," jawabku,
sambil membersihkan spermaku yang
berjatuhan.
"Kamu suka nyabu?" tanyanya, sambil turun dari
tempat tidur dengan sangat hati-hati.
"Suka nyapu rumah, nyapu halaman," jawabku.
Dia tersenyum.
"Maksudku narkoba," katanya.
"Nggak, kenapa sih?" kataku.
"Pantes. Udah keluar kok nggak mengecil, masih
besar dan keras," katanya.
"Sok tahu" kataku.
"Eh iya lho Mas, aku punya tamu dia habis
nyabu (sekarang sudah jadi trend memakai
narkoba di kamar Papitra, kadang bersama WP-
nya) aduh setengah mati aku ngeluarin pejunya,"
katanya polos. Wah habis "O" ngomongnya
udah nggak terkontrol nih sih Mbak. Saat aku
bangun memang sih kemaluanku masih keras
dan berdiri hanya sembilan puluh derajat
ditunjang dengan beberapa urat yang menonjol.
"Terima kasih yah, Mbak. Kamu lagi hamil gini,
semua tamu kamu perlakukan seperti ini
semua?" tanyaku.
"Yah nggak Mas, kebetulan aku udah lama nggak
ngewe, terus lihat punya Mas keras banget, udah
gitu aku dapat info dari Mbak-Mbak kalau kamu
kalau ke sini nggak pernah main, tetapi bayar
penuh, artinya khan Mas orang bersih."
"Oh, jadi di kamar tunggu WP, banyak saling
tukar informasi yah?"
"Harus itu, biar kita nggak salah, yang lebih
penting lagi ini," katanya sambil menunjukkan
leleran sperma yang meleleh keluar dari
vaginanya.
"Maksudmu?" kataku nggak mudeng.
"Aku taruhan sama Mbak-Mbak yang pernah
sama Mas, lumayan sepuluh ribuan sepuluh
orang, ini sebagai bukti bahwa kamu main sama
aku," katanya.
Ha, kaget aku. Wah gila aku dijadikan obyek judi,
dasar.
"Sebentar Mas, aku ke toilet," katanya. Aduh
bukan tamunya yang didulukan, malah dia yang
duluan.
Nggak lama dia masuk, dan..
"Nih aku bawain handuk yang baru," katanya
dengan wajah yang kelihatan seneng banget.
"Katanya nggak kuat naik turun, kok sudah bawa
handuk bersih dari bawah?" tanyaku.
"Khan minta tolong sama room boy," katanya.
"Nah tadi ngambil CD minta tolong aja sama
dia," kataku.
"Nggak enak lagi Mas nanti dikira macam-
macam, lagian khan tadi belum ada modal buat
nyuruh room boy," katanya.
"Maksudnya?" tanyaku lagi.
"Khan menang taruhan, yah bagi-bagi rejeki.
Aku kasih uang room boy-nya untuk ambil
handuk, mereka kalau nggak ada uangnya nggak
gerak Mas!" katanya. Aku geleng-geleng.
"Iya setali tiga uang sama kamu, kalau nggak ada
uang juga nggak goyang," kataku tapi dalam
hati.
"Mbak Desi, kok kamu duluan sih ke kamar
mandi?" tanyaku sambil memakai kimono dan
membawa handuk serta sabun.
"Aku tadi buru-buru ke sebelah ngasih tahu
sama Mbak Anita, kalau dia kalah taruhan dengan
menunjukan sperma Mas yang ngucur dari
memekku," katanya. Waduh udah kotor nih
mulut Mbak Desi, mungkin terlalu gembira
dengan kemenangannya dan "O"-nya.
Setelah mandi, berpakaian dan memberikan tips,
aku bilang, "Kamu dapat tiga aku Cuma satu lho,
Mbak!" kataku.
"Iya deh, lain kali aku kasih bonus," katanya, tahu
maksudku kalau dia dapat tips, menang taruhan
dan "O"-nya.
"Janji yah, makasih Mbak," kataku, sambil aku
cium pipi kiri dan kanannya.
Saat turun ke depan resepsionis Mbak Desi
mengikuti di sampingku, guna memberi tahu ke
resepsionis berapa jam dan minum apa.
Aku bayar tagihanku dan tak lupa kuberikan
lebihan buat Mbak Ani.
"Terima Kasih Pak," katanya. Saat aku
membalikkan badan untuk menuju pintu keluar,
sekilas aku melihat beberapa pasang mata di
ruang tamu memandang bergantian antara aku
dan Mbak Desi. Apa ada yang aneh? Oh
mungkin lihat perutnya Mbak Desi yang nonong
sementara tamunya terlihat "segar" sekali.
TAMAT


Adult | GO HOME | Exit
1/1275
U-ON

inc Powered by Xtgem.com